KABARBERITAINDONESIA.COM
Jakarta - R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, melihat dinamika global sebagai cermin: hanya bangsa yang kokoh persatuannya yang bisa menatap masa depan dengan percaya diri. Dalam pandangannya, diplomasi bukan sekadar seremoni internasional, melainkan instrumen untuk menjaga martabat bangsa, memperkuat kedaulatan ekonomi, dan memastikan persatuan rakyat tetap kokoh.
*Agustus 2025: Indonesia Tampil Percaya Diri di Panggung Dunia.*
Bulan Agustus 2025 menjadi momentum penting diplomasi Indonesia. Presiden Prabowo Subianto menggelar serangkaian pertemuan strategis dengan pemimpin dunia, menunjukkan bahwa Indonesia kini tampil lebih percaya diri dan diperhitungkan di kancah global.
Pada 11–12 Agustus 2025, Prabowo menerima kunjungan kenegaraan Presiden Peru, Dina Boluarte, di Jakarta. Pertemuan ini menghasilkan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Data 2024 menunjukkan nilai perdagangan Indonesia Peru baru sekitar USD 500 juta, angka yang relatif kecil dibandingkan potensi kedua negara. Dengan CEPA, kedua pihak membuka pasar pertanian, energi, perikanan, dan pertahanan. Peru bahkan menargetkan ekspor blueberry senilai USD 50 juta per tahun ke Indonesia. Bagi Haidar Alwi, kesepakatan ini bukan sekadar kontrak dagang, melainkan pintu gerbang Indonesia ke Amerika Latin.
Beberapa hari sebelumnya, 9 Agustus 2025, Prabowo hadir dalam Singapore National Day Parade. Kehadiran resmi tersebut adalah simbol keakraban politik dan kepercayaan. Singapura tetap menjadi salah satu mitra dagang terbesar Indonesia, dengan total perdagangan 2024 mencapai USD 70 miliar. Haidar Alwi menilai, memperkuat hubungan dengan tetangga dekat adalah fondasi penting stabilitas kawasan.
Lini multilateral juga bergerak. Pada 6-7 Juli 2025, Prabowo menghadiri KTT BRICS ke-17 di Rio de Janeiro, Brasil. Indonesia resmi bergabung sejak Januari 2025, menjadi negara ASEAN pertama yang masuk blok ini. BRICS kini menyumbang lebih dari 30% PDB global dan lebih dari 40% populasi dunia. Menurut Haidar Alwi, keanggotaan ini memberi ruang bagi Indonesia untuk bersuara lebih lantang tentang tata kelola ekonomi dunia yang adil. “BRICS adalah panggung agar kita bicara sebagai subjek, bukan sekadar objek,” ujar Haidar Alwi.
Pada 20 Agustus 2025, Menteri Luar Negeri Jerman, Johann Wadephul, berkunjung ke Jakarta mempersiapkan State Visit Presiden Prabowo ke Berlin. Fokus pembicaraan adalah energi terbarukan, kecerdasan buatan (AI), pangan, serta Just Energy Transition Partnership (JETP). Bagi Haidar Alwi, poros hijau–teknologi ini penting agar Indonesia tidak hanya jadi pasar teknologi Eropa, tetapi juga produsen dengan transfer teknologi yang nyata.
*Kedaulatan Ekonomi: Dari Pasal 33 ke Lapangan Kerja Nyata.*
Haidar Alwi menekankan, diplomasi baru bermakna bila dampaknya dirasakan rakyat. “Jangan biarkan diplomasi berhenti di meja istana. Diplomasi harus sampai ke meja makan rakyat,” tegas Haidar Alwi.
Indonesia saat ini memiliki rasio utang pemerintah sekitar 39% terhadap PDB, masih di bawah batas 60% yang ditetapkan undang-undang. Namun, Haidar Alwi mengingatkan agar utang tidak dijadikan alasan untuk melemahkan kemandirian ekonomi. Fondasi utamanya tetap Pasal 33 UUD 1945: kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Haidar Alwi mengajukan tiga pilar kedaulatan ekonomi:
1. Koperasi Tambang Rakyat (KTR). Menjadikan rakyat pemilik manfaat tambang, bukan sekadar buruh.
2. Hilirisasi Berbasis Rakyat. Membangun sentra pengolahan skala menengah dan kecil di daerah, agar nilai tambah tidak lari keluar negeri.
3. Bank Komoditas Nusantara (BKN-HAC). Instrumen keuangan berbasis emas, nikel, dan hasil bumi untuk mengurangi ketergantungan pada utang berbunga tinggi.
Bagi Haidar Alwi, diplomasi ekonomi sejati adalah diplomasi yang meninggalkan pabrik beroperasi di desa, gudang pangan yang penuh, dan sekolah vokasi yang ramai.
*Persatuan Rakyat: Pilar Tak Tergantikan.*
Haidar Alwi menekankan bahwa pilar terbesar bangsa ini bukan sekadar kekayaan alam, melainkan persatuan rakyatnya. Tanpa persatuan, diplomasi sehebat apa pun akan runtuh. Banyak narasi global bisa dijadikan alat pecah belah, baik lewat rumor politik, spekulasi ekonomi, maupun kampanye sektarian.
“Kalau kita solid, tak ada rumor yang bisa mengguncang. Kalau kita pecah, sekecil apa pun isu bisa menghancurkan,” jelas Haidar Alwi.
Haidar Alwi mengingatkan, sejarah membuktikan: persatuan adalah benteng kemerdekaan, dan perpecahan adalah jalan bagi penjajahan baru.
*Martabat, Kemandirian, dan Persatuan.*
Agustus 2025 memperlihatkan wajah baru Indonesia di panggung dunia: dari CEPA dengan Peru, parade kenegaraan di Singapura, forum BRICS di Brasil, hingga persiapan poros teknologi dengan Jerman. Semua menunjukkan arah konsisten: Indonesia ingin maju dengan martabat.
Bagi Haidar Alwi, ada tiga pilar yang tidak boleh dilepaskan: martabat diplomasi, kemandirian ekonomi, dan persatuan rakyat. Inilah fondasi agar Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi memimpin di tengah dunia yang terus berubah.
*“Bangsa ini terlalu besar untuk tunduk, dan terlalu kaya untuk dijajah kembali. Selama kita menjaga martabat, membangun kemandirian, dan merawat persatuan, masa depan Indonesia adalah masa depan yang penuh harga diri,” pungkas Haidar Alwi.
(Zaenal HR/rls)
Posting Komentar