KABARBERITAINDONESIA.COM
Jakarta - Krisis lingkungan di Indonesia semakin terasa nyata. Dari hutan yang gundul akibat tambang hingga sungai-sungai yang tercemar limbah industri, wajah bumi Nusantara menunjukkan luka yang tidak kecil. Data dari BPK menegaskan bahwa banyak lahan bekas tambang belum direklamasi, sementara laporan akademis mengingatkan ancaman kerusakan ekologis yang terus meningkat. Realitas ini menuntut gagasan baru tentang bagaimana ekonomi dapat tumbuh tanpa merusak alam.
Di tengah keprihatinan tersebut, lahir sebuah karya akademik yang menarik: Green Economy Concept: Mengulik Etika Bisnis dan Bisnis Berkelanjutan di Indonesia. Buku ini ditulis secara kolaboratif oleh empat akademisi lintas kampus dan latar belakang organisasi: Dr. Rismawati Universitas Muhammadiyah Palopo dan Abin Suarsa dari Universitas Muhammadiyah Bandung, serta Monika Handayani Politeknik Negeri Banjarmasin dan Muhammad Aras Prabowo dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Kolaborasi ini bukan hanya menyatukan dua perspektif kampus, tetapi juga memperlihatkan bagaimana NU dan Muhammadiyah mampu bertemu di jalur intelektual untuk isu yang lebih luas: keberlanjutan bumi.
Isi buku ini disusun sistematis, dimulai dari pengantar tentang etika bisnis, prinsip-prinsip teoritis, hingga praktiknya dalam konteks Indonesia. Setiap bab menghadirkan analisis mendalam, misalnya mengenai tanggung jawab sosial perusahaan, transparansi pelaporan keberlanjutan, hingga manajemen rantai pasok yang ramah lingkungan. Lebih jauh lagi, para penulis juga menyajikan proyeksi mengenai masa depan model bisnis berkelanjutan di Indonesia.
“Akuntabilitas dan transparansi dalam pelaporan keberlanjutan tidak boleh berhenti sebagai jargon. Ia harus menjadi landasan nyata dalam praktik bisnis yang berpihak pada lingkungan dan masyarakat,” ungkap Dr. Rismawati, Dosen Akuntansi Universitas Muhammadiyah Palopo, ketika menjelaskan motivasinya menulis buku ini.
Sementara itu, Muhammad Aras Prabowo, Dosen Akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, menekankan pentingnya menjembatani teori dan praktik. “Kami mencoba menghubungkan kerangka etika dengan studi kasus nyata di Indonesia, agar pembahasan green economy ini tidak hanya idealis, tetapi juga bisa dipraktikkan dalam dunia bisnis dan kebijakan,” ujarnya.
Narasi dalam buku ini terasa relevan jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia hari ini. Banyak perusahaan tambang yang hanya memikirkan keuntungan jangka pendek tanpa memulihkan kerusakan ekosistem. Konflik sosial akibat perebutan lahan, air yang tercemar, dan udara yang memburuk adalah dampak yang kini harus ditanggung masyarakat. Dengan menimbang daftar isi buku ini, jelas terlihat bahwa para penulis ingin menawarkan jalan keluar: bagaimana etika bisnis, keberlanjutan, dan pelaporan akuntansi dapat bersinergi untuk membangun model ekonomi hijau yang lebih adil.
Kolaborasi ini juga menarik secara simbolik. NU dan Muhammadiyah, dua organisasi besar yang sering dianggap berbeda dalam banyak hal, justru bersatu di ranah akademik untuk isu yang mendesak bagi bangsa. Buku ini tidak hanya menambah khazanah literatur bisnis berkelanjutan, tetapi juga menjadi cermin bahwa kepedulian terhadap lingkungan bisa menyatukan berbagai latar belakang.
Pada akhirnya, Green Economy Concept bukan sekadar buku teks. Ia adalah seruan moral, sekaligus tawaran solusi, agar Indonesia tidak terus-menerus terjebak dalam dilema klasik antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian alam. Dari ruang kuliah hingga meja perundingan kebijakan, karya ini diharapkan menjadi inspirasi bahwa ekonomi hijau bukanlah pilihan sampingan, melainkan keniscayaan bagi masa depan negeri.
(Ahmad HD)
Posting Komentar