KABARBERITAINDONESIA.COM
Bone - Kenaikan PBB-P2 yang digulirkan Pemerintah Kabupaten Bone memperlihatkan betapa jauhnya pemerintah daerah dari denyut nadi petani—kelompok yang justru menjadi tulang punggung ekonomi Bone. Gelombang protes yang meletup pada Senin, 19 Agustus 2025, merekam kemarahan warga terhadap kebijakan yang dianggap mencekik. Alhasil, pemda buru-buru menyatakan penundaan sementara dan berjanji mengkaji ulang kebijakan tersebut. Namun penundaan bukan jawaban; ia hanya menunda rasa sakit tanpa mengobati sebabnya.
Faktanya, Bone adalah kabupaten agraris dengan basis petani yang besar. Berdasarkan Sensus Pertanian 2023 (BPS), jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di Kabupaten Bone mencapai sekitar 119.562. Angka ini menggambarkan skala keluarga tani yang bergantung pada lahan dan produktivitas pertanian setempat ungkap Ady Mancanegara LBH PB PMII.
Dari sisi lahan, menurut Ady Mancanegara LBH PB PMII luas baku sawah di Kabupaten Bone tercatat sekitar 119.278 hektare, menjadikan Bone salah satu lumbung padi penting di Sulawesi Selatan. Angka resmi ini dikutip dari sumber pemerintah pusat yang merujuk data Kementerian ATR/BPN. Pada 2020, luas panen padi di Bone juga tercatat sekitar 164,10 ribu hektare, menegaskan intensitas aktivitas pertanian yang menopang hajat hidup banyak keluarga.
Di tengah komposisi sosial seperti itu, kebijakan menaikkan PBB-P2—tanpa uji dampak sosial yang memadai dan tanpa dialog bermakna—adalah bentuk pengkhianatan terhadap petani. Kenaikan pajak atas tanah pertanian langsung memotong marjin tipis usaha tani, ketika biaya sarana produksi naik, harga gabah tak stabil, dan akses pasar belum berpihak. Beban pajak pada objek PBB-P2 (termasuk tanah pertanian di perdesaan dan perkotaan) berpotensi memaksa petani menjual atau menggadaikan lahan, mempercepat alih fungsi tanah, dan memperdalam ketimpangan, tegas Ady Mancanegara LBH PB PMII.
Kami menilai, absennya kepemimpinan yang proaktif—terutama dialog terbuka antara Bupati dan kelompok tani—memperuncing krisis kepercayaan. Pemerintah daerah semestinya merancang skema kebijakan diferensiatif: pembebasan atau pengurangan PBB untuk lahan produktif kecil, klasifikasi tarif progresif berbasis luas dan produktivitas, serta perlindungan bagi petani gurem. Kebijakan fiskal daerah harus bertumpu pada asas keadilan sosial, bukan pada kalkulasi penerimaan jangka pendek yang rapuh.
LBH PB PMII mendesak: (1) mencabut rencana kenaikan PBB-P2 atas objek pertanian hingga ada kajian sosial-ekonomi yang transparan; (2) membuka forum dialog tripartit (pemda, DPRD, aliansi petani/akademisi) dengan data BPS sebagai rujukan utama; (3) menjamin pemulihan hak korban dan mengusut tindakan represif dalam penanganan aksi, agar demokrasi lokal tidak tercemar. Tanpa langkah korektif ini, Bupati Bone patut dinilai mengkhianati mandat untuk melindungi petani—mereka yang menanam padi sekaligus menanam masa depan Bone.
Data harus memimpin kebijakan. Dan data jelas berbicara: Bone adalah tanah para petani dan lahan pangan. Kebijakan pajaknya pun harus berpihak kepada mereka tutup Ady Mancanegara LBH PB PMII.
(Sumber rilis: Ady Mancanegara Anggota LBH PB PMII // Ahmad.HD)
Posting Komentar