KABARBERITAINDONESIA.COM
Banyumas || Dalam pusaran zaman yang kian bergolak, di mana rumah tangga rapuh, perceraian meningkat, dan kekerasan dalam keluarga kian marak, Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) tampil sebagai penjaga gerbang kemaslahatan keluarga, memadukan tradisi lokal dan kekuatan spiritualitas Islam untuk mengokohkan kembali sendi-sendi rumah tangga.
Hal ini disampaikan secara lugas dan menyentuh oleh Durotun Nafisah, Ketua Bidang Hukum, Advokasi dan Litbang PC. Muslimat NU Banyumas, sekaligus pegiat LKKNU Banyumas, kepada awak media pada Sabtu (27/09/2025). Dalam keterangannya, ia menegaskan,
“Tradisi tahlilan, yasinan, sholawatan, mujahadah Asmaul Husna, dan pengajian bukan hanya ritual, tapi pranata sosial yang hidup, yang menumbuhkan kebersamaan, menyambung hati, dan menjadi benteng spiritual bagi keluarga kita.”
Ia melanjutkan, bahwa Muslimat NU hadir bukan sekadar organisasi keagamaan, tetapi gerakan peradaban, yang secara senyap namun konsisten menanamkan nilai empati, solidaritas, dan kecintaan kepada Rasulullah ﷺ melalui tradisi yang sudah mengakar di tengah masyarakat.
Tradisi sebagai Sarana Dakwah dan Benteng Sosial
Dalam penelitian yang telah dipublikasikan di Jurnal Cakrawala dan dibukukan oleh Pustaka Ilmu Yogyakarta, Durotun menegaskan bahwa kekuatan Muslimat NU bukan hanya terletak pada jumlah, tetapi pada daya jangkau sosial dan spiritualnya.
Kegiatan seminggu sekali yang dilakukan secara bergilir antaranggota, mulai dari tahlilan, yasinan, pembacaan Diba’ / Barzanji, hingga kultum, telah menjadi sarana dakwah kultural yang ramah, sederhana, dan menyentuh akar rumput.
“Sholawat bukan hanya bentuk cinta kepada Nabi, tapi juga suluh akhlak dalam rumah tangga. Kultum bukan hanya tausiyah, tapi momentum edukasi keluarga maslahat. Dan makan bersama di akhir majelis adalah sedekah yang menyatukan hati dan menolak bala,” tutur Nafisah penuh makna.
Spirit Tradisi, Jawaban Zaman
Data sosial menunjukkan, krisis keluarga hari ini bukan hanya soal ekonomi, tapi kehilangan arah dan nilai. Maka tradisi Muslimat NU hadir sebagai penyeimbang antara dunia dan akhirat, antara sosial dan spiritual, antara akal dan akhlak.
“Kita harus kembali ke rumah, ke musholla, ke pengajian, ke tahlilan. Karena dari ruang-ruang itulah nilai ditanamkan, hati dilunakkan, dan keluarga dikuatkan,” ungkap Nafisah.
Ia mengingatkan bahwa kekuatan Muslimat NU ada pada kesabaran kolektif dan istiqamah berjamaah. Tradisi warisan ulama bukan untuk dikenang, tapi dihidupkan dan diwariskan kembali dalam wujud yang relevan bagi generasi kini.
Penutup, Perempuan Penjaga Peradaban
Muslimat NU bukan hanya ibu rumah tangga atau jamaah pengajian. Mereka adalah penjaga peradaban, pilar harmoni sosial, dan penguat ruhani keluarga Indonesia. Di tengah gempuran modernitas dan tantangan zaman, mereka tetap teguh menyalakan lilin di rumah-rumah yang nyaris padam.
“Kami yakin, di tangan para ibu yang sadar akan nilai dan tradisi, akan lahir generasi yang tidak hanya cerdas akalnya, tapi juga bersih hatinya,” pungkas Durotun Nafisah, penuh harap.
(Kontributor : Djarmanto-YF2DOI//warto)
Posting Komentar